LPKSM Kresna Cakra Nusantara Soroti Dugaan Pungli di SMKN 1 Tulang Bawang Tengah
Daftar Isi
Tulang Bawang Tengah,Lampung- LPKSM Kresna Cakra Nusantara Soroti Dugaan Pungli berbungkus Sumbangan Sukarela yang terjadi di SMKN 1 Tulang Bawang Tengah Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung.
Satu dari tiga wali siswa SMKN 1 Tulang Bawang Tengah mengungkapkan kekecewaannya karena tidak diberikan bukti atau kwitansi pembayaran setelah melakukan pembayaran biaya pendidikan untuk anaknya.
Pada tahun 2022, wali siswa tersebut mengaku mendaftarkan anaknya ke SMKN 1 Tulang Bawang Tengah dan diminta membayar Rp1.800.000, yang langsung dibayarkan dan diterima oleh staf perpustakaan,ibu Ratna. Kemudian, pada tahun 2023, wali siswa tersebut diminta membayar lagi sebesar Rp1.350.000. Pada tahun 2024,wali siswa tersebut diminta membayar sebesar Rp1.300.000 dan dibayarkan lunas, juga diterima oleh Ibu Ratna.
Namun, wali siswa tersebut merasa kecewa karena tidak diberikan bukti pembayaran atau kwitansi,berbeda dengan wali siswa lainnya yang setidaknya diberikan secuil kertas atau tanda tangan sebagai bukti pembayaran.
Sementara itu,dua wali siswa lainnya yang belum melunasi biaya pendidikan tidak diberikan nomor ujian.Namun,setelah melakukan pembayaran dengan nominal tertentu, barulah mereka diberikan nomor ujian.Setelah melakukan pembayaran lunas,mereka diberikan bukti lunas dan bukti kekurangan pembayaran.
Kekecewaan ini menambah keresahan wali siswa tentang transparansi dan akuntabilitas pengelolaan biaya pendidikan di sekolah, serta menimbulkan pertanyaan tentang praktik pungutan yang dilakukan oleh sekolah.
Sugiyono, S.H., selaku Ketua DPC LPKSM Kresna Cakra Nusantara Kebumen yang sekaligus pengurus DPP Bidang SDM LPKSM Kresna Cakra Nusantara mengungkapkan kekecewaan dan kesedihannya atas adanya pungutan atau pembebanan biaya pendidikan di SMK Negeri Tulang Bawang Tengah,Kabupaten Tulang Bawang Barat. Menurutnya, pihak sekolah,Korwil,Dinas Pendidikan,dan pengawas seharusnya sadar bahwa mereka diberi amanah untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik.
Sugiyono menyatakan bahwa sekolah sudah diberikan anggaran dari negara dan fasilitas milik negara, sehingga tidak seharusnya membebani biaya pendidikan kepada siswa.Ia juga menyayangkan praktik pungutan yang dilakukan dengan cara menentukan besaran dan nominal biaya,serta waktu pembayaran yang tidak jelas.
Lebih lanjut,Sugiyono mengecam praktik pungutan yang tidak disertai dengan kwitansi resmi sebagai bukti pembayaran. Ia menegaskan bahwa apapun bentuk dan kemasan pungutan tersebut,itu tetap merupakan pungutan liar (pungli) yang tidak dapat dibenarkan.
Sugiyono berharap agar pihak sekolah, Korwil, Dinas Pendidikan, dan pengawas dapat lebih transparan dan akuntabel dalam mengelola biaya pendidikan,serta memastikan bahwa hak-hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak dapat terpenuhi.
Sugiyono S.H.,Kepada Awak Media Menegaskan,bahwa sumbangan atau pungutan di sekolah yang melibatkan peserta didik tidak diperbolehkan meskipun sudah dirapatkan oleh komite sekolah karena beberapa alasan,Pertama Melanggar hak peserta didik.
"Pungutan atau sumbangan yang bersifat wajib dapat memberatkan peserta didik dan orang tua/wali, sehingga melanggar hak mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak." Tegas Sugiyono.
Menurut Sugiyono, meskipun sudah dirapatkan oleh komite sekolah, pungutan atau sumbangan yang melibatkan peserta didik/wali siswa tetap tidak boleh,karena tidak sesuai dengan Peraturan perundang-undangan tentang pungutan dan sumbangan di sekolah yang harus diikuti.
"jika pungutan atau sumbangan tidak sesuai dengan peraturan,maka tidak ya tetap tidak diperbolehkan," lanjutnya.
Sugiyono menambahkan, pungutan/sumbangan yang melibatkan peserta didik/wali siswa berpotensi penyalahgunaan Pungutan atau sumbangan yang tidak transparan dan tidak sesuai dengan peraturan dapat berpotensi disalahgunakan,sehingga merugikan peserta didik dan orang tua/wali.
Pungutan atau sumbangan yang melibatkan peserta didik dapat menciptakan tekanan atau kewajiban yang tidak seharusnya,sehingga dapat berdampak negatif pada proses belajar-mengajar
"Dalam hal ini,penting bagi sekolah dan komite sekolah untuk memprioritaskan kepentingan dan hak-hak peserta didik, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," pungkas Sugiyono.
Dwi Amilono S.H.,Ketua Umum (Ketum) LPKSM Kresna Cakra Nusantara kepada Awak Media memberikan tanggapan terkait problematika pungutan di satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Ia berpendapat peristiwa tersebut bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Dwi Amilono menjelaskan, bahwa Larangan pungutan disekolah negeri diterangkan dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar,bahwa satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dilarang memungut biaya satuan pendidikan dasar.
“di lapangan yang terjadi pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah tetap memberlakukan pungutan tersebut dengan berbagai dalih dan argumen bahwa bukan satuan pendidikan yang melakukan pungutan namun komite sekolah atas kesepakatan dengan orang tua/wali murid yang kemudian diberlakukannya pungutan tersebut dalam bentuk sumbangan” kata Dwi Amilono.
Lanjut Dwi Amilono,Maraknya pungutan di satuan Pendidikan terkait kebutuhan realisasi program-program,renovasi dan pembangunan gedung, pembelian buku pendamping dan seragam sekolah, pada praktiknya dilakukan melalui pungutan liar.Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pengaduan masyarakat terkait pungutan tersebut kepada LPKSM Kresna Cakra Nusantara.
Pengaduan mengenai pungutan dimaksud menunjukkan bahwa adanya satuan pendidikan di beberapa kabupaten yang dilaporkan oleh orang tua/wali murid berkenaan dugaan maladministrasi penyimpangan prosedur dengan beberapa hal diantaranya: Adanya sumbangan yang ditentukan jangka waktu dan jumlahnya yang memberatkan orang tua/wali murid (pungutan liar),pembelian seragam sekolah di satuan pendidikan yang nominalnya memberatkan orang tua/wali murid, pengadaan/pembelian buku pendamping siswa (LKS) yang memberatkan orang tua/wali murid, bahkan adanya intimidasi kepada orang tua/wali murid yang menyampaikan laporan bahkan ada yang sempat viral di Kebumen Jawa Tengah.
Lebih lanjut Dwi Amilono menjelaskan,Sebagaimana Pasal 1 angka 2 dan angka 3 Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar,bahwa pungutan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa pada satuan pendidikan dasar yang berasal dari peserta didik atau orang tua/wali secara langsung yang bersifat wajib,mengikat,serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya ditentukan oleh satuan pendidikan dasar.
Sedangkan sumbangan adalah penerimaan biaya pendidikan baik berupa uang dan/atau barang/jasa yang diberikan oleh peserta didik,orang tua/wali,perseorangan atau lembaga lainnya kepada satuan pendidikan dasar yang bersifat sukarela,tidak memaksa,tidak mengikat,dan tidak ditentukan oleh satuan pendidikan dasar baik jumlah maupun jangka waktu pemberiannya.
Pada umumnya,satuan pendidikan menyangkal melakukan pungutan, dengan dalih yang melakukan pungutan adalah komite sekolah. Selanjutnya komite sekolah menyampaikan bahwa yang terjadi adalah sumbangan yang telah mendapatkan kesepakatan dalam rapat pertemuan orang tua/wali murid untuk dapat merealisasikan program-program dan kegiatan yang telah disampaikan oleh kepala sekolah.
Dalam hal ini kepala sekolah selaku pemimpin,pemegang kewenangan dalam satuan pendidikan juga turut andil dalam terjadinya pungutan di satuan pendidikan yang dipimpinnya.
“Umumnya yang dilakukan, awalnya kepala sekolah menyampaikan dalam penyampaian program-program dan prestasi-prestasi sekolah,yang tujuannya untuk menarik rasa memiliki bersama oleh orang tua/wali murid,selanjutnya komite sekolah menyampaikan kepada orang tua /wali murid sehingga berujung pada kesepakatan-kesepakatan yang dijadikan dasar penarikan sumbangan dengan jumlah yang ditentukan besarannya dan waktu pembayarannya yang terjadi di satuan pendidikan tersebut,” terangnya.
Lanjut Dwi Amilono menegaskan , Komite sekolah sebagaimana ketentuan Pasal 3 Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah dapat menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat baik perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri maupun pemangku kepentingan lainnya melalui upaya kreatif dan inovatif.
Masyarakat dalam hal ini sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2),yang dimaksud masyarakat adalah peserta didik,orang tua atau wali peserta didik. Selanjutnya dipertegas kembali dalam Pasal 10 ayat (2) bahwa penggalangan dana dan sumber daya pendidikan lainnya untuk melaksanakan fungsinya dalam memberikan dukungan tenaga,sarana dan prasarana,serta pengawasan pendidikan berbentuk bantuan atau sumbangan,bukan pungutan.
“Tidak semua masyarakat berani melapor mengenai hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan dikarenakan kekhawatiran. Sistem pendidikan nasional telah menetapkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.Di sinilah pentingnya partisipasi masyarakat dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik, khususnya layanan dasar di bidang pendidikan” ujar Dwi Amilono.
Masih menurut Dwi Amilono, berdasarkan ketentuan Pasal 181 huruf a,huruf c,dan huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan,bahwa pendidik dan tenaga kependidikan,baik perseorangan maupun kolektif,dilarang menjual buku pelajaran,bahan ajar, perlengkapan bahan ajar,pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan, melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik, dan melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, dalam Pasal 198 huruf a, huruf c, dan huruf e, dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar,perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan dan mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung, melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.
Berdasarkan ketentuan tersebut telah jelas dan terang bahwa jual beli terhadap buku pendamping (LKS) maupun seragam di satuan pendidikan tidak diperbolehkan, karena secara langsung maupun tidak langsung selain mencederai integritas satuan pendidikan tanpa disadari hal ini sangat mengganggu psikologis siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Keadaan psikologis inilah yang acap kali dikesampingkan oleh satuan pendidikan yang melakukan penjualan buku dan seragam sekolah, dengan dalih tidak memaksa atau tidak ada paksaan, namun ketika seorang murid tidak memiliki buku maupun seragam yang berbeda dengan yang telah dimiliki oleh siswa lainnya yang membeli di satuan pendidikan,tetap ada suatu tekanan psikologis dalam pikirannya.
” Inilah mengapa menjadi perhatian penting bagi satuan pendidikan apabila akan melakukan penjualan buku pendamping tertentu dan seragam di satuan pendidikan, seragam dalam hal ini dapat dikecualikan untuk seragam khas sekolah seperti batik khas dan seragam olah raga tentunya,” terang Dwi.
Menurut Dwi Amilono,Kewenangan merupakan satu landasan seseorang untuk dapat dibenarkan melakukan tindakan atau perbuatan dalam bentuk apapun,kebijakan haruslah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ditulis dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,memiliki makna bahwa tindakan dalam bentuk apa pun dilakukan oleh siapa pun harus sesuai dengan asas legalitas,terlebih kepada penyelenggara negara dan penyelenggara pendidikan.
Problematika sumbangan,pungutan, pengadaan buku pendamping dan seragam di satuan pendidikan sebagaimana prinsip negara hukum dan asas legalitas,bahwa kewenangan melakukan tindakan hukum di satuan pendidikan maka harus berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,bukan didasarkan atas kehendak para pihak,terhadap satuan pendidikan yang melakukan penarikan sumbangan, yang ditentukan jumlah dan waktunya terhadap orang tua/wali peserta didik atas dasar kesepakatan, implementasinya memenuhi unsur nominal dan waktu yang ditentukan, dengan demikian pungutan dalam bentuk sumbangan dengan dalih kesepakatan tersebut bertentangan dengan aturan hukum yakni Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Pendidikan, Pasal 9 ayat (1) Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 jo Pasal 10 Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
“Yang menjadi penekanan bahwa, baik ketentuan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 dan Permendikbud 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah terkait sumbangan di satuan pendidikan tidak boleh membebani dan melibatkan orang tua/wali murid yang tidak mampu secara ekonomi.” Pungkasnya.
(Sudirlam/tim)
Posting Komentar