PERADI BERSAMA POLRES,"SARESEHAN HUKUM UU ITE DAN KEBEBASAN BERBICARA DI MEDIA SOSIAL"
Daftar Isi
ARTHA NEWS-Kota Tasikmalaya,Kamis 29 mei 2025,,Gedung creative center Dadaha Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI ) Dewan pimpinan cabang Kota Tasikmalaya melaksanakan sarasehan Hukum terkait undang-undang ITE.Seminar UU ITE tersebut di hadiri perwakilan dari Polres Tasikmalaya di wakili oleh iptu.h.wahidin.S.H,Beserta jajaran.
Acara diawali Kata Sambutan dari Ketua pelaksana Cecep Miftah Zainudin,S.H.I.,M.Pd.berharap melalui sarasehan Hukum ini,kita dapat Memahami lebih jelas tentang UU ITE dan bagaimana penerapannya dalam ranah media sosial,Menemukan cara yang tepat untuk berinteraksi di media sosial dengan tetap menghargai hak-hak orang lain dan menjaga norma-norma sosial, Menghindari potensi sengketa hukum yang mungkin timbul akibat penyalahgunaan media sosial.
"Dalam kesempatan itu Ketua DPC PERADI Tasikmalaya Kota (Agoes Rajasa Siadari,SH.)disambutan singkatnya"Bila di Kepolisian bukan advokat tetapi Penasihat Hukum"
Diwaktu Yang sama Dr.Shalih Mangara Sitompul,SH,M.H,.Sebagai wakil ketua umum DPN PERADI Bidang PKPA,Sertifikasi advokat dan kerja sama Universitas periode tahun 2020 sampai dengan 2025.
Beliau mempresentasikan dan menjelaskan UU ITE dan kebebasan berbicara di media sosial,Undang-undang informasi dan transaksi Elektronik ( UU ITE ).Merupakan perangkat hukum yang sangat berpengaruh dalam mengatur perilaku masyarakat di ruang digital Indonesia.Sejak di berlakukan pertama kali tahun 2008.kemudian diubah dengan UU 19/2016 dan terakhir melalui UU 1 Tahun 2024, Aturan ini kerap menjadi perdebatan publik.
Sehingga,Tranformasi ruang komunikasi yang serba digital menuntut penyesuaian hukum agar tidak mengekang hak konstitusional warga negara namun tetap menjaga ketertiban umum,khususnya terkait dengan perlindungan kebebasan berbicara di media sosial."Jelasnya
*Dasar Konstitusi Kebebasan Berbicara*Kebebasan Berbicara merupakan hak asasi manusia yang dijamin secara inplisit dalam pasal 28E ayat ( 3 ) dan pasal 28F UUD 1945,Di era digital,hak ini diperkuat oleh berbagai instrumen internasional seperti Internasional Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) Pasal 19 dan 20 yang telah diratifikasi UU No 12 Tahun 2025
UUD 1945 : Pasal 28E ayat ( 3 ) dan pasal 28F menjamin kebebasan berbicara dan berekspresi.
Internasional Convenant on Civil and Political Right ICCPR:Pasal 19 dan 20 memperkuat perlindungan kebebasan berbicara di tingkat Internasional.
Pembatasan Legal:Kebebasan Berbicara dibatasi untuk menjaga ketertiban umum l,moral,dan hak orang lain.
Namun,Perlindungan hak tersebut tunduk pada pembatasan yang bersifat legal,antara lain demi menjaga ketertiban umum,moral,dan hak orang lain,UU ITE menjadi Instrumen utama untuk memastikan agar kebebasan ini berjalan beriringan dengan tanggung jawab hukum.
UU ITE terdapat beberapa pasal yang dinilai multitafsir atau disebut "Pasal Karet",Yaitu; pasal 27,pasal 28, pasal 29.Sehingga direvisi di UU nomor 1 Tahun 2024,untuk menghadirkan kepastian hukum.Dan bertujuan memastikan ruang digital tetap sehat dan tidak menjadi sarana penyebaran kebencian dan fitnah,namun tidak juga membungkam ekspresi yang sah secara konstitusional.
Kepastian hukum:Mengurangi multitafsir dalam penerapan pasal-pasal UU ITE
Perlindungan Digital:Menjaga ruang Digital dari Konten Berbahaya Dan Merugikan.
Berdasar amar putusan MK atas pasal 28(2) dan 45A(2),Putusan MK105/PUU-XXII/2024.MK memutuskan bahwa Unsur"menghasut,mengajak,atau mempengaruhi"harus dimaknai terbatas: hanya informasi yang secara substansial dan nyata mengandung penyebaran kebencian berdasarkan indentitas tertentu, dilakukan dengan sengaja di ruang publik,dan menimbulkan risiko diskriminasi atau kekerasan.Penafsiran ini mengacu pada ICCPR Pasal 20 ( 2 ) agar tidak bertentangan dengan prinsip kebebasan berekpresi dalam masyarakat demokratis.
Sebelum putusan MK:aparat penegak hukum cenderung menggunakan pasal-pasal karet UU ITE untuk membungkam kritik,baik terhadap individu maupun kelompok, termasuk aktivitas dan jurnalis.
"Penafsiran luas dan subjektif,kritik mudah diskriminasi,pembungkaman aktivitas dan jurnalis, proses hukum berdasarkan klaim pelapor"
*Setelah Koreksi MK,Penerapan pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian kini menuntut pembuktian niat,risiko nyata,serta batasan Identitas sasaran, sehingga mendorong proses hukum yang adil dan teratur*
*Penafsiran restriktif dan objektif,kritik dilindungi secara konstitusional, perlindungan bagi pembela kepentingan publik, proses hukum berdasarkan pembuktian risiko nyata*
Putusan MK105/PUU-XXII/2024 Menjadi titik balik penting dalam pembatasan penafsiran pasal-pasal karet UU ITE,terutama pasal 27A,,45(4),28(2),dan 45A,Mahkamah konstitusi menegaskan bahwa pasal-pasal tersebut hanya konstitusional bila dimaknai secara restriktif.
Tindakan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian baru bisa dipidana bila terbukti nyata menimbulkan risiko diskriminasi, permusuhan,atau kekerasan secara spesifik,bukan sekedar berbeda pendapat "tutupnya.
(Red)
Posting Komentar