Kasus Veronika Sidabutar – Penahanan Tersangka Mandek, Kejati Sumut Akui Penundaan Tahap Dua Tidak Memiliki Dasar Hukum Tegas.
Table of Contents
Artha-News.com Samosir I (27/11) - Proses hukum kasus dugaan pengancaman yang menimpa Veronika Sidabutar memasuki babak baru yang semakin janggal. Meski berkas perkara tersangka TS telah dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Samosir sejak 15 Oktober 2025, hingga kini Polres Samosir belum menyerahkan tersangka dan barang bukti (tahap dua). Tersangka TS, yang diduga mengancam korban dengan parang dan kayu, bahkan belum ditahan hingga hari ini.
Padahal dalam hukum acara pidana, setelah P21 diterbitkan, penyerahan tersangka beserta barang bukti seharusnya dilakukan tanpa penundaan. Namun faktanya, penanganan kasus ini justru dihentikan sementara atas alasan yang tidak diatur dalam hukum.
Kejari Samosir Minta Tahap Dua Ditunda Karena Menunggu Laporan Balik TS
Menurut SP2HP Polres Samosir tertanggal 22 Oktober 2025, penundaan tahap dua dilakukan berdasarkan koordinasi dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Samosir. Alasannya: mereka menunggu laporan balik yang dibuat TS di Polsek Simanindo hingga ikut mencapai P21, agar kedua perkara bisa diproses bersamaan—terutama bila upaya restorative justice (RJ) gagal ditempuh.
Alasan ini langsung menimbulkan tanda tanya besar, karena laporan balik belum tentu beralasan, dan tidak ada kewajiban hukum menunggu laporan tersebut lengkap untuk melanjutkan perkara utama yang sudah P21.
Kejati Sumut: “Kalau Sudah P21, Harusnya Diserahkan”
Ketika wartawan mendatangi Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pada 26 November 2025, jaksa Andri, yang dipanggil untuk memberikan penjelasan, justru menyampaikan pernyataan yang semakin mempertegas ketidakberesan proses ini.
Saat ditanya apakah perkara yang sudah P21 boleh ditunda hanya karena menunggu laporan balik, Andri menegaskan:
> “Kalau sudah P21, seharusnya Polres menyerahkan tersangka dan barang bukti.”
Namun ketika ditunjukkan bahwa penundaan dilakukan justru atas koordinasi dengan JPU Kejari Samosir, Andri menyebut bahwa itu hanya “kebijakan”, bukan aturan hukum.
Pernyataan ini mengonfirmasi bahwa penundaan tahap dua tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Indikasi Tekanan Terhadap Korban?
Lebih jauh, Andri menyebut bahwa Kejari Samosir mungkin sengaja menunggu kedua laporan sama-sama P21 agar bisa menawarkan perdamaian. Bila perdamaian gagal, barulah kedua perkara akan dinaikkan bersamaan.
Pernyataan tersebut justru menimbulkan dugaan serius:
Laporan balik TS diduga dijadikan alat tekan untuk memaksa Veronika Sidabutar menerima restorative justice.
Wartawan Hayun Gultom menegaskan bahaya pola seperti itu:
> “Kalau begitu, semua tersangka tinggal membuat laporan balik untuk menghambat proses hukum.”
Pernyataan kritis ini tidak mendapatkan bantahan substansial dari pihak Kejati.
Konfirmasi Kejari Samosir: Tetap Mengutamakan RJ.
Dalam upaya mengklarifikasi, Andri menghubungi Kasi Pidum Kejari Samosir. Hasil komunikasi itu kembali menegaskan alasan yang sama: penundaan dilakukan karena kejaksaan ingin mengedepankan restorative justice.
Namun kembali, alasan itu bertentangan dengan aturan prosedural, karena RJ hanya dapat dilakukan sebelum berkas dinyatakan lengkap. Setelah P21, proses harus berlanjut ke tahap dua.
Kesimpulan: Penundaan Tidak Sesuai Prosedur, Dasar Hukum Tidak Jelas.
Dari rangkaian penjelasan Kejari Samosir hingga Kejati Sumut, terlihat jelas bahwa:
Tidak ada dasar hukum untuk menunda tahap dua setelah P21.
Tidak ada aturan yang mengharuskan menunggu laporan balik tersangka.
Kebijakan internal tidak boleh menggantikan ketentuan KUHAP.
Penggunaan laporan balik untuk menekan korban agar masuk RJ adalah praktik yang sangat berbahaya dan berpotensi melanggar prinsip keadilan.
Kasus ini kini menimbulkan preseden buruk:
Apakah tersangka cukup membuat laporan balik untuk menghambat proses hukum yang semestinya terus berjalan?
Pertanyaan tersebut masih menggantung. Yang pasti, hingga kini, keadilan untuk Veronika Sidabutar masih belum bergerak. Pajak hukum yang seharusnya pasti dan tegas, kini justru terkesan diatur oleh “kebijakan”, bukan oleh aturan.
(NR.Sitohang)
👁 Views: 0
Post a Comment