𝗞𝗶𝘀𝗮𝗵 𝗩𝗲𝗿𝗼𝗻𝗶𝗸𝗮 𝗞𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗟𝗮𝗽𝗼𝗿𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘀𝗶 𝗕𝗲𝗿𝗵𝗲𝗻𝘁𝗶 𝗱𝗶 𝗧𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻, 𝗠𝘂𝗻𝗰𝘂𝗹 𝗗𝘂𝗴𝗮𝗮𝗻 𝗔𝗱𝗮 𝗜𝗻𝘁𝗲𝗿𝘃𝗲𝗻𝘀𝗶 𝗕𝘂𝗽𝗮𝘁𝗶 𝗦𝗮𝗺𝗼𝘀𝗶𝗿

Table of Contents
Artha-News com Samosir (5/12-2025) - 𝑲𝒂𝒔𝒖𝒔 𝒅𝒖𝒈𝒂𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒄𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒍𝒂𝒑𝒐𝒓𝒌𝒂𝒏 𝑽𝒆𝒓𝒐𝒏𝒊𝒌𝒂 𝑺𝒊𝒅𝒂𝒃𝒖𝒕𝒂𝒓 𝒅𝒊 𝑷𝒐𝒍𝒓𝒆𝒔 𝑺𝒂𝒎𝒐𝒔𝒊𝒓 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒉𝒂𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒑𝒖𝒃𝒍𝒊𝒌, 𝒔𝒆𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒑𝒓𝒐𝒔𝒆𝒔 𝒉𝒖𝒌𝒖𝒎 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒎𝒆𝒔𝒕𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒔𝒖𝒌𝒊 𝒕𝒂𝒉𝒂𝒑 𝑰𝑰 𝒋𝒖𝒔𝒕𝒓𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒉𝒆𝒏𝒕𝒊 𝒕𝒂𝒏𝒑𝒂 𝒑𝒆𝒏𝒋𝒆𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈. 𝑫𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒈𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒔 𝒑𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒊𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒍𝒆𝒏𝒈𝒌𝒂𝒑, 𝒎𝒖𝒏𝒄𝒖𝒍 𝒌𝒆𝒕𝒆𝒓𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒋𝒖𝒕𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒂𝒑𝒂𝒓𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒑𝒐𝒍𝒊𝒔𝒊𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂 𝒕𝒆𝒍𝒂𝒉 𝒎𝒆𝒏𝒆𝒎𝒖𝒊 𝑩𝒖𝒑𝒂𝒕𝒊 𝑺𝒂𝒎𝒐𝒔𝒊𝒓 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒊𝒏𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒅𝒊𝒂𝒔𝒊—𝒑𝒆𝒎𝒊𝒄𝒖 𝒅𝒖𝒈𝒂𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒄𝒂𝒎𝒑𝒖𝒓 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒌𝒖𝒂𝒔𝒂𝒂𝒏 𝒊𝒌𝒖𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒏𝒈𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒔𝒖𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒖𝒍𝒂 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊𝒌𝒂𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒖𝒂 𝒌𝒂𝒌𝒂𝒌 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒅𝒊𝒌 𝒊𝒏𝒊.

Bulan April lalu, Veronika Sidabutar pulang ke kampung halamannya di Desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Menjenguk ibunya sedang sakit—dan sebagai anak, itu panggilan hati. Namun kepulangannya berubah menjadi awal dari babak panjang pertengkaran ia dan adiknya yang belum juga berakhir hingga kini.

“Saya pulang karena mamak sakit, tapi dia melarang saya bertemu,” tuturnya pelan kepada wartawan. Yang ia maksud adalah adiknya sendiri, Tumborina Sidabutar.

Hari itu, bukan hanya kata-kata yang melarang. Kayu dan parang ikut bicara. Veronika mengaku kepalanya dipukul, tubuhnya dicekam ancaman. Polisi dari Polsek Simanindo datang, menyarankan damai. Ia mengaku mengangguk, meski kepala masih berdenyut. Tapi Tumboria menolak. Dari situlah Polsek menyarankannya melapor ke Polres Samosir.

Laporannya teregister 3 April 2025. Tumborina kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Waktu berjalan, pemeriksaan dilakukan, dan berkas perkara dinyatakan lengkap—P-21. Seharusnya setelah itu, tahap II atau pelimpahan tersangka dan barang bukti hanya menunggu hari. Tapi hari itu tak kunjung tiba.

Penundaan mula-mula hanya terdengar sebagai gumam di kalangan wartawan. Lalu pada 24 November 2025, sebuah percikan muncul. Ketika beberapa jurnalis mewawancarai Kanit Reskrim Polsek Simanindo, Bripka Andi Sihombing, ada kalimat mengejutkan, adanya dugaan intervensi Bupati Samosir dalam kasus Veronika dan Tumborina. 

Menurut Andi, TS—Tumborina Sidabutar—mengaku telah menemui Bupati Samosir. Permintaannya: agar kasusnya dimediasi.

Andi juga mengatakan ada komunikasi antara Kajari Samosir dan Kapolsek setelah pertemuan itu. Keterangan yang singkat, tapi menimbulkan dugaan yang serius: adakah intervensi kepala daerah dalam penundaan tahap II?

Sementara itu, kejaksaan punya alasan sendiri. Mereka mengatakan pelimpahan tahap II ditunda karena menunggu laporan balik Tumborina terhadap Veronika—laporan penghinaan yang baru masuk 2 Juni 2025 dan baru menetapkan tersangka pada 17 November—juga mencapai P-21. Alasannya: agar kedua kasus diproses bersama.

Namun bagi banyak orang, logika itu terasa janggal. Laporan yang lebih baru, dan baru sekali ditetapkan tersangka, justru menjadi alasan menahan kasus pertama yang sudah lengkap formil dan materiil. Bahkan seorang jaksa di Kejati Sumut yang dimintai pendapat menyebut bahwa tahap II tidak semestinya tertahan oleh laporan balik.

Di tengah tarik-ulur lembaga penegak hukum, hubungan darah kembali disebut—sebagai alasan kepolisian mendorong restorative justice. Tapi di balik pengakuan itu, Bripka Andi juga mengatakan hal yang sebenarnya menjadi inti persoalan: tak ada satu pun undang-undang yang menyatakan hubungan keluarga dapat menunda proses hukum.

Di balik semua prosedur, formulir, tanda tangan, dan P-21, ada cerita yang jauh lebih manusiawi: dua kakak beradik yang terbelah oleh tanah keluarga. Veronika yang tinggal di Jakarta dan adiknya, Tumborina, yang menetap di Tomok, berbeda sikap soal rencana pemerintah menjadikan lahan keluarga mereka sebagai kebun raya. Satu menolak, satu menyetujui. Dari situ bara tumbuh, awal pertengkaran ketua kakak beradik ini. 

Kini, hampir setahun sejak laporan pertama dibuat, Veronika masih menunggu. Kepalanya sudah tidak oyong lagi, tapi kepalanya—mungkin—masih berat memikirkan mengapa proses hukum yang seharusnya sederhana menjadi sangat panjang.

(NR.Sitohang)
👁 Views: 0

Post a Comment