Tokoh Adat Limbong Tegaskan Batas Kenegerian, Harapkan Peran Aktif Pemerintah
Table of Contents
Artha-News.com Samosir (22/12-2025) - Sejumlah tokoh masyarakat adat Kenegerian Limbong menggelar pertemuan untuk membahas penegasan batas wilayah adat di Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir,Senin (22/12/2025).
Pertemuan berlangsung di kawasan wisata spiritual Aek Sipitudai, Desa Sipitudai—lokasi yang sarat nilai sejarah dan kearifan lokal masyarakat Batak.
Dalam pertemuan tersebut, para tokoh menyoroti belum jelasnya pengakuan pemerintah terhadap tapal batas Kenegerian Limbong.
Kondisi ini dinilai berpotensi mengikis identitas adat,sejarah, serta keberlanjutan budaya masyarakat setempat.
“Penegasan batas wilayah adat bukan sekadar soal administrasi, tetapi menyangkut jati diri dan warisan leluhur,” ujar salah satu tokoh adat.
Batu Magulang sebagai Batas Adat
Kenegerian Limbong secara adat terdiri dari lima desa, yakni Sipitudai, Boho, Habeahan Naburahan, Sarimarrihit, dan Singkam. Para tokoh sepakat bahwa Batu Magulang merupakan batas adat Kenegerian Limbong, yang membentang sejauh mata memandang dari kelima desa tersebut.
Batu Magulang juga disebut mencakup kawasan Menara Pandang Tele,yang oleh masyarakat adat diyakini sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayah Kenegerian Limbong.Selain itu, wilayah Bius Sipitutali dan Bius Hambing Boho juga berbatasan langsung dengan Batu Magulang.Usulan Pengembalian Nama Adat
Salah satu aspirasi kuat yang mengemuka adalah permintaan agar Menara Pandang Tele dikembalikan ke nama aslinya,yakni Menara Pandang Limbong. Menurut tokoh adat, penamaan tersebut memiliki nilai historis dan filosofis yang melekat erat dengan perjalanan Kenegerian Limbong sejak masa leluhur.
Kepala Desa Sipitudai, Jenry Limbong,menyampaikan bahwa pihaknya telah secara resmi menyurati Bupati Samosir terkait permohonan tersebut.
“Aspirasi ini murni datang dari masyarakat adat yang ingin menjaga sejarah dan identitas wilayahnya,” kata Jenry.
Tokoh adat Ramses Limbong (Op. Batara Limbong) menambahkan bahwa kawasan Hutan Pinus Tele sejatinya bernama Tombak Raja Limbong. Pada masa lampau, kawasan ini menjadi sumber kayu sakral untuk keperluan ritual adat, seperti Mangalahat Horbo.
“Kayu dari Tombak Raja Limbong tidak digunakan sembarangan, melainkan khusus untuk kepentingan adat,” jelasnya.
Kearifan Lokal dan Kekhawatiran Hilangnya Hak Adat
Tokoh lainnya,Romanda Limbong, menyebut tapal batas adat Kenegerian Limbong adalah Batu Magulang di wilayah menara pandang dan Marsobur di Desa Boho. Ia menegaskan penamaan kawasan harus kembali pada sebutan yang diwariskan leluhur.
Hal senada disampaikan Bosdiman Limbong, yang mengaku masyarakat tidak mengetahui asal-usul nama Menara Pandang Tele.Karena itu,ia meminta pemerintah mengembalikan penamaan sesuai adat.
Sementara Piter Limbong berharap pengelolaan Menara Pandang dan kawasan hutan pinus dikembalikan kepada Bius Sipitutali Kenegerian Limbong, agar nilai sejarah dan budaya tetap terjaga.
Saut Limbong menambahkan, pengelolaan objek wisata spiritual sebaiknya diserahkan kepada masyarakat setempat guna menghindari konflik dan mencegah pergeseran sejarah.
Harapan pada Pemerintah
Para tokoh adat berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret untuk menindaklanjuti aspirasi tersebut. Mereka menilai pengakuan batas wilayah adat dan penamaan sesuai sejarah merupakan bagian dari perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Jangan sampai ketika kami menjalankan kearifan lokal, seperti Mangalahat Horbo,kami justru dilarang mengambil kayu dan rotan dari Tombak Raja,” ujar seorang tokoh.
Pertemuan ini diharapkan menjadi awal sinergi antara pemerintah dan masyarakat adat dalam menjaga serta melestarikan warisan budaya Kenegerian Limbong agar tetap hidup dan berkelanjutan.
(NR.Sitohang)
👁 Views: 0
Post a Comment